TERMINOLOGI TASAWUF
(Istilah kata-kata
dalam bahasa tasawuf)
1. W A K T U
Esensi waktu
(al-Waqt). Menurut penelaah ahli hakikat, adalah suatu peristiwa yang
terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Peristiwa
yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang).
Seperti kalimat, “Anda di datangi awal bulan”, maka, “kedatangan” merupakan
sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan adalah sesuatu yang terjadi nyata.
Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. Berkata : “Waktu adalah sesuatu yang
Anda berada di dalamnya. Kala Anda di dunia, maka waktu Anda adalah dunia. Bila
di akhirat, maka waktu Anda adalah akhirat. Ketika Anda senang, itulah waktu
Anda. Kalau Anda susah, susah itulah waktu Anda.” Maksud Syeikh tadi, waktu
memiliki definini yang umum bagi manusia.
Ada kala
waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang mengatakan, waktu merupakan
sesuatu antara dua zaman. Yang lampau dan yang akan datang.
Mereka juga
mengatakan, bahwa orang Sufi merupakan anak sang waktu. Kalimat tersebut
dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan priorotas utama yang harus
dikerjakan ketika itu, mandiri terhadap perolehan seketika.
Dikatakan :
“Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah lewat dan yang akan tiba dalam
waktunya, tapi lebih mementingkan apa yang ada pada saat itu.” Dikatakan :
“Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu
berikutnya.”
Terakdang
mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai sesuatu yang dilakukan ooleh
Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi mereka. Mereka mengatakan ( si
Fulan dengan hukum waktu). Yakni : Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak
dari yang ghaib tanpa usahanya sendiri. Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori
perintah Allah swt, atau terapan menurut hukun syariat. Karena adanya
penelantaran terhadadap apa yang diperintah dan merekayasa dalam waktu untuk
mengalahkan takdir, di samping meninggalkan kepedulian terhadap sesuatu yagn
Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti keluar dari agama.
Mereka
berkata : “Waktu adalah pedang”. Sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk
memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang memenangkan
kebenaran, akan melewatinya.
Dikatakan :
“Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam sayatannya. Barangsiapa
menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barangsiapa bertindak kasar akan
tertebas olehnya. Begitu juga waktu, siapa yang mencurahkan pada hukum waktu
akan selamat, dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh dalam
kehancuran.”
Seperti
dalam bait ini :
Dan seperti
pedang..
Jika tak
mencegahnya untuk menyentuh
Tajamnya,
kalau mengasari tergoreslah.
Barangsiapa
ditolong sang waktu, maka waktu hanya baginya. Dan barangsiapa menentangnya,
sang waktu pun akan marah ke padanya.
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Waktu adalah pembubut yang akan
menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni, jika melenyapkan dan
menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu,
tanpa melenyapkanmu sama sekali.”
Sang Syeikh
bersyair :
Setiap hari
ia lewat meraih tanganku..
Memberikan
penyesalan dalam hatiku..
Kemudian...
ia berlalu..
Dalam syair
pula :
Seperti
penghuni neraka
Jika
kulit-kulitnya terpanggang matang..
Kembali pula
kulit itu,
Bagi suatu
penderitaan.
Dikatakan :
Bukanlah
orang mati itu
Orang
istirahat sebagai mayit.
Tetapi orang
mati itu
Kematian
hidupnya.
Orang cerdas
adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah sadar
dalam Ilahi (ash-shahw), maka ia tegak mandiri dengan syari’at. Apabila
waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat.
2. M A Q A M
Maqam adalah
tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan macam upaya,
di-wujud-kan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing
berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah
laku riyadhah menuju ke pada-Nya.
Syaratnya,
seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi
hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa yang belum sepeuhnya qana’ah, belum
bisa mencapai tahap tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakal tidak sah
bertaslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah pula ber inabat, dan barang
siapa tidak wara’ tidak sah untuk ber zuhud.
Al-Maqam
berarti iqamah, sebagaimana kata al-madkhal berarti idkhaal, dan al-makhraj
berarti al-ikhraaj. Tidak seorang pun sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan
penyaksian terhadap kedudukan Allah swt. terhadap dirinya dengan maqam tersebut,
yang dengannya strutur bangunan ruhaninya benar menurut pondasi yang shahih.
Saya mendangar
Abu ali- al-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika al-Wasithy masuk ke Naisabur,
bertanyalah ia kepada santri Abu Utsman, : “Apa yang diperintahkan Syeikh
kalian kepada kalian? Mereka menjawab : “Kami diperintah untuk menetapi taat
serta melihat dan meneliti penyimpangan di dalamnya.” Maka
al-Wasithy berkata, “Syeikh kalian memerintah dengan cara Majusi
murni? Apakah Syeikh kalian tidak memerintah diri kalian dengan hal yang gaib
dengan memandang ke pada Yang Memunculkan dan Menjalankan yang gaib? Maksud al-
Wasithy dengan kta-kta itu, agar mereka menjaga diri dari posisi takjub.
Bukannya menaiki ke arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir),
karena yang demikian bisa merusakkan adanya cacat dalam adab.
3. H A A L
Al-Haal
(kondisi ruhani) menurut banyak orang merupakan arti yag intuitif dalam hati;
tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang
atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau suka
cinta, maka setiap al-Haal merupakan karunia. Dan stiap Maqam adalah upaya.
Pada al-Haal datang dari Wujud itu sendiri, sedang al-Maqam diperoleh melalui
upaya perjuangan. Orang yang memiliki Maqam, menempati maqamnya, dan orang yang
berada dalam Haal, bebas dari kondisinya.
Dzunnun
al-Mishri ditanya tentang Al-‘Arif. Dia menjawab, Al-‘arif itu ada disini, lalu
dia pergi.
Salah seorang
guru berkata : “Beberapa al-Haal seperti kilatan kalau menetap, itu sekedar omongan
nafsu.”
Mereka berkata
: “Al-Haal sebagaimana namanya, yakni al-Haal seperti ketika menempati dalam
kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak
menempati, pasti tidak dinamakan haal.
Dan setiap yang
menempati, pastilah hilang,
Lihatlah pada
bayangan ketika sampai ujungnya
Berkuranglah
ketika ia memanjang
Beberpa
kalangan mengisyaratkan abadinya al-Haal. Mereka berkata : “Sebenarnya jika
al-Haal tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka.
Pelakunya tidak sampai pada al-Haal yang sebenarnya. Apabila predikat tersebut
menetap terus, dinamkan al-Haal.”
Di sinilah Abu
Utsman al-Hiry berkata “Aku tidak pernah benci terhadap maqam yang telah
diberikan Allah swt. kepadaku.” Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya
dalam ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-Haal.
Seharusnya
dikatakan : Orang yang mengisyaratkan abadinya al-Haal, maka apa yang
dikatakannya benar. Terkadang al-Haal berarti bagian dari seseorang kemudian
terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki al-Haal ini memiliki beberapa ihwal,
yaitu jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-ihwalnya yang menjadi
bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap secara konsisten, seperti
menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia naik ke ihwal lain yang lebih lembut. Dan
begitu selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.
4. QABDH DAN BASTH
Kedua istilah
ini merupakan kondisi ruhani setelah seseorang hamba menahapi tingkah laku
al-Khauf dan ar-Raja’. Al-Qabdh di mata seorang arif sama kedudukannya dengan
tahap al-Khauf di mata pemula. Sedangkan al-Basth, setara kedudukannya dengan
a-Raja’ di mana pemula yang mencari jalan kepada Allah swt.
Perbedaan
antara Qabdh, Khauf, Basth dan Raja’
Al-Khauf :
Muncul dari sesuatu di masa depan, terkadang takut kehilangan sang kekasih,
atau datangnya sesuatu yang ditakuti.
Ar-Raja’ :
Membayangkan sang kekasih di masa depan atau sesuatu yang ditampakkan akan
hilangnya yang ditakuti, serta yang dibenci, bagi mereka yang pemula (dalam
dunia Sufi).
Al-Qabdh :
Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam waktu seketika, begitu juga
al-Basth.
Orang yang
mempunyia khauf dan raja’, hatinya bergantung dalam dua kondisi
waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki qabdh dan basth, waktunya diambil
oleh yang mengalahkan dalam kekinian. Hanya saja predikatnya terpaut dalam
qabdh dab bats menurut keterpaduan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh
menjadi keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak terpenuhi. Dan
ddari segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak ada jalan selain dominsai
pendatang di dalam dirinya. Karena diambil secara keseluruhan dari pihak
pendatang tersebut.
Demikian pula
yang dileluasakan (al-mabsuth), Kadang-kadang di dalamnya ada basth
yang membuat sang makhluk menjadi luas, sehingga tidak takut terhadap segala
hal. Ia menjadi mambsuth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari
satu ihwal ke ihwal lain.
Saya mendengar
Abu ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian orang memasuki tempat Abu Bakr
al-Qihthy. Di sana ada seorarng anak sedang bermain sebagaimana permainan
anak-anak muda lainnya (yang bisa merusak hatinya). Orang-orang itu melewati
tempat anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam dalam permainan dengan
teman-temannya. Mereka merasa ibi kepada al-Qihthy, serayaa berkata, ‘Kasihan
Syeikh, bagaimana digoda oleh anak-anak jelek itu? Ketika mereka memasuki rumah
al-Qihthy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita sedikit pun soal
mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran. Mereka berkata. ‘Anda menebus orang
yang tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak bukit?’ Al-Qihthy menjawab :
“Sesungguhnya kami telah dibebaskan dari belenggu segala hal dalam azali.”
(artinya, ia telah tenggelam dalam keparipurnaan ubudiyah kepada Allah swt.
sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah swt.).
Kewajiban
terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya yang mengharuskan bentuk
isyarat cacat pada diri, atau adanya rumus yang di dalamnya seseorang berhak
untuk bersopan santun (adab), sehingga dalam kalbunya mendapatkan qabdh.
Terkadang yang
datang dalam kalbunya merupakan isyarat untuk mendekat, atau yang diterima
merupakan kelembutan dan ketentraman, sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara
global, wabdh masing-masing pelaku tergantung kualitas basth-nya, begitu juga
basth-nya diukur menurut qabdh-nya.
Terkadang sebab
musabab qabdh menimbulkan musykil bagi pelakunya. Dalam kalbunya ditemukan
qabdh yang tidak dimengerti apa keharusan dan sebabnya. Keharusan yang dijalani
pelaku seperti ini alah taslim, sehingga waktu seperti itu berlalu. Sebab jika
dicari, justru akan menghalanginya. Atau ia menghadap waktu sebelum jatuh
padanya, lewat ikhtiarnya, sehingga berharap wabdh-nya bertambah. Barangkali
hal itu tergolong su’ul adab. Jika menyerahkan diri pada hukum waktu, maka dari
dekat akan menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah swt. berfirman :
“Dan
sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan,” (Qs. Al-Baqarah : 245).
Terkadang basth
datang seketika, tanpa si pelaku tahu sebabnya, sehingga ia pun terkejut. Jalan
yang harus ditempuh, jika demikian, ia harus tenang dn menjaga adab. Pada waktu
itu, ia sedang mengalami bisikan yang besar. Karena itu, si pelaku harus
menghindari makar yang samar di daamnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
sebagian Sufi, “Telah dibuka padaku, pintu basth, kemudian diriku terguncang
hebat, lantas aku pun tertutup dari maqamku.” Karenanya berkatalah mereka,
“Bertetaplah apda kelapangan (al-bisath) dan hati-hatilah, berupaya
melapangkan.”
Ada ahli
hakikat (tahqiq) mengategorikan perilaku qabdh dan basth tergolong sesuatu yang
mereka mohonkan perlindungan. Karena keduanya disandarkan pada yang diatasnya
berupa tahap kehancuran hamba, sedangkan upaya hamba memasukinya dalam dunia
hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya.
Al-Junayd
berkta : “Al-Khauf dari Allah membuatku tergenggam, Dan ar-Raja’ dari Allah
membuatku lapang. Hakikat telah mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq memisahkanku.
Apabila Dia membuatku tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana’ dari
diriku. Apabila ar-Raja’ melapangkanku, Dia mengembalikan kepadaku. Apabila
diriku terintegrasi hakikat, maka Dia menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan
Al-Haq, aku disaksikan oleh selain diriku, kemudian menutupiku, Allah swt.
dalam semua hal itu adalah penggerakku tanpa mengekangku, Dia yang membuatku
takut tanpa genmbiraku. Aku dengan kehadiranku, merasakan rasa wujud-ku.
Fana’ku datang dari diriku, membuatku nikmat, atau mengabaikan dariku, sehingga
aku ringan.
5. HAIBAH DAN UNS
Rasa takut
sisertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan sukacita jiwa (uns) merupakan
tahap dari derajat-derajat dalam al-qabdh dan al-basth. Kalau qabdh berada di
atas tingkatan khauf, dan basth di atas tingkatan raja’, maka haibah lebih
tinggi dariapda qabdh, kemudian uns lebih sempurna daripada basth. (Maksudnya,
Uns lebih tinggi tahapannya. Sebab haibah muncul dari Qabdh, yang bermula dari
Khauf. Sedang Uns muncul dari Raja’. Karena orang yang takut kepada Allah swt,
melihat kekurangan dirinya di hadapan Allah, hatinya akan terganggu oleh-Nya,
dan yang tersisa hanyalah sibuk dengan Allah, sehingga muncullah Haibah. Siapa
yang wushul-nya terus menerus, hatinya akan lapang dan mendapatkan uns. Catatan
Kaki).
Hak haibah
adalah kegaiban. Setiap pelaku haibah senantiasa lebur dalam kegaiban.
Orang-orang yang berada dalam gaib frekuensinya berbeda dalam haibah menurut
penjelasan mereka dalam kegaiban.
Sedangkan hak
uns adalah pencerahan dalam kebenaran. Orang yang melakukan uns, berarti cerah
jiwanya. Kemudian frekuensinya berbeda menurut penjelasannya dalam bagian
“minuman jiwa”. Mereka berkata : “Tempat terendah dalam al-uns adalah jika
seseorang dilempar ke dalam neraka Jahanam, sama sekali sukacitanya tidak
terpengaruh.”
Al-Junayd
berkata : “Aku mendengar batinku berkata : “Seorang hamba bisa ssampai pada
suatu batas seandainya wajahnya tertebas pedang, sama sekali tidak merasakannya.”
Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu, hingga tampak jelas bahwa persoalannya
sampai sedemikian itu.”
Diriwayatkan
dari Ahmad bin Maqatil al-Ikky, ia berkata : “Aku memasuki tempat asy-Syibly,
sedangkan beliau tengah mencabut helai bulu alisnya dengan sebuah penjepit. Aku
katakan kepadanya; “Wahai tuanku, Anda berbuat demikian apda diri sendiri,
sementara rasa pedihnya kembali pada hatiku.’ Ia menjawab : “Celaka Anda!
Hakikat itu tampak padaku, dan aku tidak kuat memikulnya. Maka beginilah, aku memasuki
kepedihan atas diriku, siapa tahu aku merasakannya, lalu tertutup dariku. Aku
tak menemukan kepedihan itu. Dan tidak tertutup dariku, sedangkan kepedihan itu
membuatku tidak tahan.”
Kondisi haibah
dan uns, walaupun masing-masing tampak jelas, bagi ahli hakikat masih
dikategorikan kurang, karena keduanya mengandung perubahan pada diri hamba.
Sedangkan yang tidak berubah, dinamakan ahli tamkin. Mereka hangus dalam
wujud nyata. Tidak ada haibah dan tidak pula uns, tidak ilmu maupun rasa.
Cerita ini dikenal
dari Abu Sa’id al-Kharraz : “Suatu saat di kampung, aku berkata :
Aku datang,
maka aku tak mengerti
Dari mana,
siapa aku,
Kecuali apa
yang dikatakan manusia
Pada diriku dan
dalam jenisku,
Aku datangi jin
dan manusia
Jika tak
kutemui seorang pun,
Aku datangi
diriku.
Kemudian ada
bisikan lembut menyusup ke dalam kalbuku :
Amboi, siapa
yang tahu sebab-sebab
Yang lebih
luhur wujud-nya,
Lalu ia
bersukaria dengan kesesatan yang hina
Dan dengan
manusia
Kalau engkau
dari ahli wujd yang hakiki
Pastilah engkau
gaib dari Jagad, Arasy dan Kursy
Sedang engkau
tanpa kondisi ruhani bersama Allah
Jauh dari
mengingat
Pada jin dan
manusia.
6. TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD
Tawajud adalah
upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui salah satu ragam ikhtiar. Orang
yang memiliki tawajud tidak dapat dkategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau
ia sempurna, pasti disebut wajid.
Dalam bab wazan
Tafa’ul lebih banyak menampakkan sifat. Padahal bukan demikian, seperti dalam
syair :
Bila kelompak
mata menjadi sempit;
Dan padaku
tiada lagi sulit membuka
Lalu kurobek
mata, tanpa cela.
Ada pandangan
yang mengatakan, “Tawajud tidak terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya
beban dan masih jauh dari tahqiq.”
Ada pula yang
mengatakan : “Tawajud diserahkan kepada para fakir yang secara internal
mengintai untuk menemukan makna-makna tersebut.”
Hakikat yang
bisa dikenal, muncul dari kisah Abu Muhammad al-Jurairy, r.a. bahwa ia berkata
: “Ketika aku di sisi al-Junayd, di sana da Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq
dan yang lain berdiri sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata,
“Tuanku, tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman dalam penyimakan?’ Al-Junayd
menjawab : “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap ditempatnya,
padahal ia berjalan seperti jalannya awan.” (Qs. An-Naml :88). Lalu al-Junayd
pun bertanya. “Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam
penyimakan?’ Aku katakan : “Tuanku, ketika aku hadir di suatu temepat yang di
dalamnya sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang-orang yang
bersenang-senang dengan rasa malu, mka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika
aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud,”
Kemudian kata
tawajud disebut dalam hikayat tersebut, sedangkan al-Junayd tidak
mengingkarinya.
Saya mendengar
Syeikh Abu Ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Apabila manusia menjaga dtika
keutamaan sat dalam penyimimakan, Allah menjaga diri dan waktunya, karena
berkat etikanya.”
Sedangkan
ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian dengan
hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu para
Syeikh mengatakan : “Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jama’
al-wujd) merupakan bauh dari wirid. Setiap orang yanng bertambah upaya
ruhaninya, Allah pun akan menambah kelembutannya.”
Saya mendengar
Syeijh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sesuatu yang sempit di dalam hati itu,
muncul dari sisi wirid. Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak
wirid pula dalam sirr-nya. Setiap ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd,
maka tidak dapat dikategorikan sebagai wujd. Seperti suatu al yang dilakukan
melalui muamalat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang
mualamat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam
btin hamba seputar hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid. Kemanisan
adalah buah dari mualamat, dan mawajid merupakan produk dari karunia yang
turun”
Sedangkan
wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki tahap wujd. Wujud Al-Haq tidak
dapat dicapai kecuali setelah memadamkan unsur manusiawinya. Karena
kemanusiawian tidak akan baqa’ ketika muncul kekuasaan Hakikat. Inilah arti
dari ucapan Husain an Nury, “Sejak dua puluh tahun aku berada antara Ada dan
tiada, yakni : Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah hatiku, dan ketika kutemui
hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku.”
Pernyataan ini
relevan pula dengan ucapan al-Junayd, “Ilmu Tauhid” merupakan wahana penjelasan
bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya.” Dalam konteks
artian ini, penyair berkata :
Wujud-ku ada
ketika aku gaib dari wujud
Karena yang
tmpak padaku
Dalah syuhud
(penyaksian).
Tawajud
merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd sebagai
perantara antara permulaan dan tujuan akhir.
Saya mendengar
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Tawajud mengharuskan adanya kecelaan hamba.
Sedang wujd mengharuskan ketenggalaman hamba. Demikian pula wujud mengharuskan
kesirnaan mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur
persoalan ini dikatakan secara berurutan, mulai dari : Qusyud (bermaksud),
wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu Wujud, terakhir Khumud
(sirna). Dengan kadar kriteria wujud-lah, khumud dapat dicapai.
Bagi orang yang
ber-wujud memiliki kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw
adalah kebadiannya dengan Al-Haq, sedang kondisi mahw-nya adalah kefana’annya
dengan Al-Haq. Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw dengan
Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai *wushul). Karena itu, Rasulullah saw.
bersabda (hadis Qudsi), “Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.”
Manshur bin
Abdullah berkata : “Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang itu
kemudian beretanya. “Apakah pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri
orang-orang yang mencapai al-wujud? Benar. Cahaya yang memancar, bersama dengan
sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.” Demikian jawab
asy-Syibly.”
Gambaran ini
jelas dalam syair Ibnul Mu’tazz :
Gelas yang
dibasai iar karena cemerlang beningnya,
Llau mutiara
tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum
menyucikan karena kagum
Pada cahaya air
di dalam api dari anggur yang ranum,
Diwarisi ‘Aad
dari negeri Iram
Sebagai
simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya.
Suatu kisha
berkenaan dengan Abu Bakr ad-daqqy : “jahm ad-Duqqy mengambil kayu di tangannay
ketika sedang menyimak dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya.
Kemudian keduanya berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy
sendiri sorang yang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh
emosi. Abu Bakr ad-Duqqy berkata : “Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!’
Sementara Jahm ad- Duqqy adalah manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong
kayu di dekatnya, seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm,
hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi. “Wahai Syeikh, tobat! Tobat!”
teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy meelpaskannya.”
Semangat Jahm
benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika Jahm menyadari bahwa
tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia insaf dan
berdamai.
Begitu pula
orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila yang
mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula
berakal, tidak paham serta tidak merasa.
Isteri Abu
Abdullah at-Targhundy berkata : “Ketika bencana kelaparan sedang melanda,
sementara manusia dijemput maut karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah
at-Targhundy masuk ke dalam rumah. Ia melihat ada dua kilogram gandum.
Berkatalah ia, ‘Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku masih mempunyai
simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun kehilangan akal. Dan sejak saat itu ia
tidak pernah bangkit, kecuali pada waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat
kembali pada tingkah laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia meninggal
dunia.”
Kisah ini
menunjukkan, bahwa laki-laki tersebut selalu menjaga diri dalam adab syariat,
ketika dilanda oleh hukum-hukum hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai
faktor penyebab hilangnya akal pada dirinya, dikarenakan kepeduliannya
(syafaqah) terhadap nasib semua kaum Muslimin. Ini derajat yang lebih kuat
dalam sikap perilakunya.
7. JAM’i DAN FARQi
Dua kata
tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
berkata : “Al-farq, suatu kondisi yang dihubungkan kepada diri sendiri, dan
al-Jam’, berkaitan dengan hal yang menyirnakan diri sendiri. Artinya, Segala
upaya hamba seperti menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak dengan tingkah
laku manusiawi, disebut al-Farq. Sementara jika datang dari arah Al-Haq (Allah
swt.) seperti mucnulnya makna-makna dan datangnya kelembutan serta ihsan, maka
disebut al-Jam’.
Dafinisi ini
merupakan kondisi paling sederhana dalam konteks jam’ dan farq. Sebab, kondisi
tersebut merupakan bagian dari penyaksian segala bentuk perbuatan. Siapa yang
meneyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti
ketatan dan pegingkaran dirinya, maka hamba tersebut dideskripsikan dalam
pemisahan (tafriqah). Sedangkan yang menyaksikan dirinya di hdapan Al-Haq
melalui perbuatan yang didelegasikan dari Af’al Allah swt, maka sang hamba
telah menyaskikan al-Jam’. Penetapan makhluk merupakan pintu tafriqah, dan
penetapan al-Haq merupakan predikat al-jam’.
Bagi hamba,
haruslah berkondisi jam’ dan farq. Sebab siapa yang tidak berposisi farq, ia
tidak memiliki penghambaan (ubudiyah), dan siapa pun yang tidak berposisi
jam’, ia tidak pernah ma’rifat kepada-Nya. Firman Allah swt. (Hanya Kepadamu
Kami menyembah), merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-Nya (dan
hanya kepada-Mu kami memohon pertolonan), merupakan isyarat al-jam’.
Apabila hamba
berbicara kepada Tuhannya, melalui bahawa munajat, apakah memohon mendoa,
memuji, bersyukur, menyucikan diri atau pun meminta, maka ia telah menempati
tahap berpisah (tafriqah). Namun apabila ia telah terpesona melalui sirri-nya
terhadap apa yang dimunajatkannya kepada Tuhan, kemudian mendengarkan melalui
kalbunya apa yag telah dikatakan lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan
atau dimunajatkan kepada-Nya, atau pun yang dikenalkan oleh-Nya, maka
makna-Nya, atau bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan di perlihatkan
oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam’.
Saya mendengar
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku menguraikan beberapa ucapan di
sisi Ustadz Abu Sahl ash-Sha’luky r.a. (Engkau buat menjadi bersih pandanganku
ke padamu’). Ketika itu Abul Qasim an- Nashr Abadzy hadir di sana. Lalu Ustadz
Abu Sahl berkata : “(huruf ta’ dinashab’),. Maka Abu Nashr Abadzy, berkata :
(Huruf ta’ didhammah’).”
Artinya,
barangsiapa mengucapkan perkataan (“kujadikan”), berarti mengabarkan sikap
perilakunya sendiri, seakan-akan sang hamba berkata, “ini”!. Jika ia berkata
(“engkau jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas dari beban. Bahkan
ia berkata kepada Tuhan-nya, “Engkau-lah yang mengkhususkan kepadaku dengan ini,
bukan aku, melalui kemampuanku.” Yang pertama, berkaitan dengan bisikan
do’a, dan yang ke dua, dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar melalui
keutamaan dan sariguna. Maka, bedakan antara orang yang mengatakan, “Melalui
jerih payahku, aku menyembah-Mu,” dan ucapan orang : “Melalui keutamaan dan
kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.”
Adapun jam’ul
jam’i di atas semua itu. Manusia memiliki frekuensi masing-masign sesuai dengan
manifestasi perilaku dan kepautan derajat mereka. Barang siapa menetapkan atas
dirinya, berarti menetapkan kemakhlukan, namun menyaksikan keseluruhan, berarti
ia telah mandiri kepada Yang Haq, dan inilah al-Jam’. Tetapi jika yang terlibas
dari penyaksian terhadap kemakhlukan, lebur dari dirinya, dan teraih
universalitas, dari segala hal yang tampak dan terdelegasi dari kekuasaan
hakikat, maka tahap inilah yang disebut jam’ul jam’i.”
Tafriqah adalah
penyaksian terhadsap makhluk, hanya untk Allah swt. Al-jam’ adalah penyaksian
terhadap makhluk bersama Allah swt. dan jam’ul jam’i, berarti sirna dengan
univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada selain Allah swt. ketika terlanda
hakikat. Jam’ul jam’i merupakan kondisi mulia. Sebagian kaum menamakan tahap
ini sebagai al-farq kedua. Yaitu dikembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada
saat menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap kefarduan
dengan segenap waktunya, sehingga ia kembali, hanya untuk dan bersama Allah
swt, bukan bagi hamba bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya pada kondisi
seperti itu dalam perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan
kenyataannya bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan
perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-Nya.
Sebagian Sufi
mengisyaratakan kata al-Jam’ dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq atas seluruh
makhluk. Maka globalitas dari keseluruhan dalam proses bolak balik dan
perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa sebenarnya Allah-lah yang
memunculkan substansi-substansi mereka itu. Allah-lah yang menjalankan
sifat-sifat mereka. Kamudian Allah swt. memisahkan dalam ragam : Satu kelompok,
Allah swt. membahagiakan mereka, dan kelompok lain Allah swt. menjauhkan dan
menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah swt. menarik hati mereka, dan
kelompok yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari rahmat-Nya, dan satu
golongan lagi Allah swt, memutus kehendak mereka untuk menyatakanDiri-Nya. Ada
kelompok yang disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada yang disirnakan. Ada
kelompok yang didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah meminumkan karunia hingga
mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan yang dicelakakan dan
diakhirkan, kemudian dijauhkan dan disingkirkan. Ragam Af’al-Nya tidak bisa
dijangkau oleh batasan, sementara rinciannya tidak dapat diuraikan dan diingat.
Para Sufi pernah melantunkan syair bagi al-Junayd, mengenai makna jama’ dan
farq :
Engkau telah
membuat nyata-Mu
Dalam rahasiaku
Lalu lisanku
munajat pada-Mu
Kita berkumpul
bagi makna-makna
Dan berbpisah
bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu
adalah
Keagungan dari
lintasan mataku
Toh Engkau buat
keserasian dari dalam
Yang
mendekatku.
Mereka bersyair
lagi :
Jika telah
tampak padaku
Keagungan, lalu
keluar dalam tingkah orang
Yang tak
dikehendaki
Maka aku
berkumpul dan berpisah dengan-Nya
Sedang
ketunggalan yang saling bertemu
Adalah dua
dalam satu bilangan.
8. FANA’ DAN BAQo’
Sejumlah Sufi
mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-sifat tercela, sementara baqa’
diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji. Kalau pun seorang hamba
tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut , maka dapatlah dimaklumi,
sebenarnya, salah satu bagian apabila tidak dijumpai dalam diri manusia, maka
dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat
tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang
mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan
tertutupi.
Perlu
diketahui, bahwa predikat yang menjadi sifat hamba mengandung perbuatan, akhlak
dan tingkahlaku. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan daya manusia melalui
ikhtiarnya. Sedangkan akhlak merupakan pembawaan. Namun sifat itu berubah
menurut konsistensi kebiasaannya. Sedangkan tingkah laku merupakan suatu
perilaku yang dikembalikan kepada hamba dari segi permulaannya. Hanya saja,
penjernihannya muncul setelah pembersihan amal. Seperti akhlak dalam satu segi.
Demikian pula manakala sang hamba terus menerus membersihkan perbuatannya,
melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah swt. memberikan anugerah
kepadanya melalui penjernihan tingkah laku, bahkan melalui penyempurnaan
tingkah laku tersebut.
Siapa yang
berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan bahasa syariat, maka ia telah
fana’ dari syahwatnya. Jika telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan
dirinya serta keikhlasan dalam ubudiyahnya. Sipa yang zuhud di dunia
dengan hatinya, maka ia telah faa’ dari kesenangannya. Dan jika telah fana’
kesenangannaya, berarti telah kekal melalui kejujuran kembali dirinya.
Barangsiapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit kalbu seperti dengki,
angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari kenakguhan
nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian,
yang kekal dalam dirinya adalah ketidakpeduliannya kepada kepentingan
pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan
berlakunya qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan, maka dapat dikatakan : Ia
telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk. Jika ia fana’ dari
pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dan
siapa yang terlimpahi kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang
disaksikan, baik alam kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah
fana’ dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq. Ke-fana’-an hamba dari segala
perbuatannya yang hina, dan tingkahlakunya yang buruk, telah menghilangkan
perbuatan-perbuatan seperti itu. Ke-fana’-an mereka atas dirinya dari makhluk
lainnya, dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mereka. Kalau
telah fana’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka subyek ke-fana’an
dari semua itu tidak boleh di-maujud-kan.
Apabila
dikatakan, “,Manusia benar-benar fana’ dari dirinya dan dari makhluk, maka
dirinya maujud dan makhluk juga maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga
juga tidak mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka dirinya ada, dan makhluk
menjadi ada, berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya maupun semua makhluk, sama
sekali tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk lainnya (karena keparipurnaan
yang penuh dalam kesibukannya terhdap sessuatu yang lebih luhur dari
semuanya.)”
Terkadang Anda
melihat seseorang memasuki tempat penguasa atau orang yang kejam, lalu orang
tersebut merendahkan diri atau merendah pada majelis di sana. Alangkah jauh
jauh hati itu, juga dirinya, hingga tak mungkin untuk mengatakan sesuatu. Allah
berfirman :
“Maka tatkala
wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)nya, dan mereka
melukai jari-jari tangannya.” (Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran
ketika mereka sama sekali tidak menemukan rasa sakit ketika (pertama kali
menyaksikan raut muka Yusuf a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah, dan
mereka berkata :
“Dan mereka
berkata : “Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak
lain, hanyalah malaikat yang mulia.” (Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan
makhluk atas perilakunya sendiri ketika bertemu dengan sesamanya. Bagaimana
menurut dugaan Anda dengan orang yang dibuka untuk menyaksikan Al-Haq? Kalaupun
mereka lupa dari rasa dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya, maka adakah
lebih menakjubkan lagi ketimbang melihat-Nya?
Barangsiapa
fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah ilmunya. Siapa yang fana’ dari
kesenangannya, yang kekal adalah zuhudnya. Siapa yang fana’ dari
angan-angannya, yang kekal adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi kiprahnya.
Apabila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa diingat, kemudian menaiki tahap
lebih tinggi dengan fana’nya dari melihat ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang
disebut Fana’u Fana’ ). Sebagaimana digambarkan penuyair :
Ada kaum yang
tersesat di padang gersang
Aa pula yang
tersesat di padang cintanya
Mereka fana’,
kemudian fana’ lalu fana’
Lantas mereka
kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya.
Yang pertama
adalah fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat
Al-Haq. Kemudian fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap
Al-Haq itu sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat penyaksian fana’, melalui
keleburan dirinya dalam Wujud Al-Haq.
9. GHAIBAH DAN HUDHUR
Ghaibah berarti
kegaiban kalbu dari segala apa yang diketahui, berkaitan dengan apa yang
berlaku pada tingkah laku makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya,
sehingga perasaannya tersibukkan oleh kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa
itu, dengan sendirinya dan yang lainnya, menjadi gaib, karena faktor yang tiba,
akibat mengingat pahala atau memikirkan ancaman siksa.
Diriwayatkan
bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke ruah Ibnu Mas’ud r.a. kemudian ia melewati
kedai tukang pande (besi). Ia melihat bara yang menganga di perapian pande itu.
Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan akibat-akibat pelaku dosa yang
dibakar api). Ketika siuman, ia ditanya. “Aku ingat bagaimana keadaan ahli
neraka di neraka nanti.” Demikian katanya.
Diriwayatkan
dari Ali bin al-Husain. Ketika ia sedang sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan
panas api yang tersulut di dalam rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling
dari shalatnya. Lantas ditanya tentang keadaannya yang demikian itu. “Aku
tercengang oleh nyala api besar, lebih dari kobaran api itu.” Jawabnya.
Manakala
ghaibah rasa yang muncul oleh faktor yang dibukakan Al-Haq seperti itu, maka
derajat mereka berbeda-beda menurut tingkah laku kondisinya.
Kisah yang
populer, bahwa awal mula perilaku Abu Hafs an-Naisabury al-Haddad meninggalkan
pekerjaan di kedainya, yaitu ketika muncul seseorang yang membaca ayat
Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya karena adanya sesuatu yang datang
menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya pada bongkahan bara api, dan
menariknya kembali sambil memegang bara api yang menganga (sama sekali tidak
merasa panas). Muridnya, saat melihat kejadian itu pun berkata. “Wahai guru,
apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa yang tampak padanya, lalu
meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu dari kedai.
Saya mendengar
Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia dikenal sebagai laki-laki saleh. Ia
mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq
di Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang membahas soal haji, sampai hatiku
terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula aku pergi haji, dan meninggalkan
kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu Ali r.a. juga pergi menunaikan haji
pada tahun yang sama. Ketika di Naisabur aku menjadi pelayannya dan ikut
membaca Al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari di desa, aku melihatnya sedang
bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun membawanya. Sesampai di tempat
tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah membalas kebaikan
kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia menatapku dalam-dalam, seakan-akan
itu sebagai tatapan terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernah sekali, aku bertemu
denganmu, siapa kamu? Aku menjawab, “Aku adalah orang yang memohon pertolongan
kepada Allah swt, aku menyertaimu sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku,
karenamu. Aku merasa teputus oleh kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata,
“Pernah sekali, aku beertemu denganmu...!”
Sedangkan Hudhur,
bisa berarti, seseorang sebagai pihak yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika
ia ghaib dari makhluk, ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir,
kaerna limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir
dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas kegaibannya dari makhluk,
maka kehadirannya dikategorikan bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara
universal, maka kehdiran tersebut menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si
Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya. Ia tidak lupa
dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah dalam hudhur-nya menurut
derajatnya, dengan segala makna yang dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan,
karena kembalinya hamba pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk
lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini disebut hadir bersama
makhluk. Yang pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya
beragam. Ada yang pendek gaibnya, adapula yang abadi.
Iriwayatkan
bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang muridnya ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk
menyampaikan pesan agar Abu Yazid mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun
telah sampai di daerah Bau Yazid, ia menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun
menuju ke rumah yang dimaksud. “Apa maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku
ingin menemui Abu Yazid.” Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana
Abu Yazid? Aku juga sedang mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun
segera pergi berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian ia
kembali pulang ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan apa yang disaksikan. Tiba-tiba
Dzun Nuun menangis, sambil berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah
pergi bersama mereka yang pergi kepada Allah swt.”
10. SHAHUW DAN SUKR
Shahw
adalah kesadaran hamba kepada rasa setelah mengalami kegaiban (ghaibah). Dan
Sukr adalah mabuk ruhani akibat sesuatu yang datang dengan sangat kuat. Sukr
berati tambahan bagi ghaibah di satu sisi. Karena itu orang sukr, kadang-kaang
terhamparkan dirinya, manakala berlum terpenuhi dalam sukr-nya. Kadang-kadang
apda tahap sukr, segala kekhawatiran berguguran dari kalbunya. Itulah perilaku
orang yang menampakkan sukr, karena tidak mampu memenuhi datangnya bisiskan
yang luhur. Kdang, dalam kesadaran ada kesegran, lalu mabuk pesonanya bertambah
atas ghaibah-nya. Terkadang seorang yang sukr lebih ghaibah
ketimbang orang yang sedang berada dalam ghaibah itu sendiri mana kala sukr-nya
lebih kuat. Dan tidak jarang orang yang ghaibah itu lebih sempurna dalam
ghaibah-nya dibanding orang yang sukr, manakala sukr-nya tidak mencapai apa
yang diinginkan.
Sedangkan
ghaibah, terkadang datang kepada para hamba karena adanya sesuatu yang
mengalahkan kalbunya, disebab disiplin cinta sukacita, khauf dan raja’.
Sementara sukr tidak akan terwujud, kecuali kepada orang yang memiliki
keseuaian- kesusaian ruhani. Apabila Allah swt. membuka hamba melalui sifat
Keindahan (al-Jamal), maka hamba akan mabuk kepayang (sukr), dan ruhnya menjdai
gembira, sementara kalbunya terpesona. Dalam sukr yang muncul akibat mukasyafah
Jamal, mereka mendengarkan syair :
Kesadaranmu
dari kata-Ku,
Adalah sambung
semuanaya
Dan mabuk
kepayangmu dari bagian-Ku
Memperkenankan
bagimu, meneguk minuman
Tak bosan-bosan
peminumnya
Tak bosan-bosan
peenguk minumnya
Menyerah pada
bagian,
Yang gelas
pialanya memabukkan jiwa.
Merek masih
bersyair :
Orang-orang
menjadi mabuk memutari gelas piala
Sedang mabukku
datang dari Yang Memutarnya
Ada dua
kemabukan bagiku
Dan bagi dua
penyessal hanya satu
Yang
dikhususkan bagiku di antara mereka
Hanya untukku
Dua mabuk
kepayang
Mabuk cinta
Mabuk abadi
Ketika siuman
Tiba-tiba telah
bugas si pemabuk
Anda perlu
mengetahui bahwa, derajat kesadaran (Shahw) tergantung pada frekuensi mabuk
kepayang ruhani (sukr). Siapa yang sukr-nya bersama Al-Haq, maka Shahw-nya juga
bersama Al-Haq, barangsiapa sukr-nya masih diliputi oleh dunia, maka Shahw nya
juga disertai dunia yag benar. Barangsiapa menepati kebenaran dalam sikap
perilaku, maka ia terjaga dalam sukr-nya. Sukr dan Shahw mengisyaratkan pada
ujung dari pemisahan. Manakala tampak dari kekuasaan hakikat, mka sifat hamba
diketahui dalam kesirnaan dan keterpaksaan. Mereka bersyair :
APabila pagi
telah terbit dengan bintang yang gembira
di dalamnya
telah seimbang kemabukan dan kesukacitaan
Allah swt.
berfirman :
“Tatkala
Tuhannya menampak pada gunung itu, kejadian itu membuat gunung itu hancur luluh
dan Musa pun jatuh pingsan.” (Qs. Al-A’raaf :143).
Itulah
pengalaman dalam Risalah Musa as, dan apalagi gunung dan kekuatannya menjadi
lebur berkeping-keping.
Sang hamba
dalam kondisi sukr-nya menyaksikan kondisi ruhani itu sendiri, dan dalam dalam
Shahw-nya ia menyaksikan ilmu. Hanya saja dalam tingkah sukr-nya terjaga, tidak
melalui beban yang diupayakan. Sedangkan dalam Shahw-nya terjaga melalui
upayanya. Shahw dan Sukr terjadi setelah Dzauq dan Syurb.
11. DZAUQ DAN SYURB
Di antara
bagian yang berlaku dalam tradisi Sufi adalah Dzauq dan Syurb. Mereka
mengonotasikan istilah tersebut dari peristiwa yang mereka temukan dari buah
tajali dan buha mukasyaah serta kejutan-kejutan yang muncul. Tahap pertama
adalah Dzauq, kemudian Syurb, lalu Irtiwa’.
Kejernihan
muamalat mereka mendatangkan rasa (dzauq) makanwi, dan ketepatan tahap-tahap
mereka mengharuskan adanya minum (syurb). Sementara keabadian hubungan mereka
(wushul) mengharusskan adanya kesegaran (irtiwa’).
Orang yang
memliki dzauq menampakkan sukr-nya. Dan orang yang sedang syurb melahirkan
kemabukkan. Orang yang irtiwa’ selalu menjerit. Dan siapa yang kuat cintanya,
maka abadi pula minum-nya. Apabila sifat-sifat seperti itu abadi, syurb tidak
melahirkan mabuk (sakran). Dan ia selalu menjerit bersama Al-Haq sebagai orang
yang fana’ dari segala jagad makhluk, sama sekali tidak berbpengaruh baginya
apa yang datang, dan tidak berubah, apa yang menyertainya. Barangsiapa jernih
sirr-nya, maka minum-nya tidak akan pernah keruh. Dan siapa yang menjadi
peminum (ruhani) sebagai konsumsi, ia tidak akan pernah sabar dan tidak pernah
abadi tanpa konsumsi itu. Mereka bersyair :
Gelas minuman
adalah susuna kita
Kalau tak kita
rasakan
Tak hidup pula
ita
Dalam syair
mereka :
Aku heran orang
yang bicara : Aku inngat Tuhanku
Apakah aku
alpa, lalu aku ingat apa yang kulupa?
Kuminum cita,
gelas demi gelas piala
Tuntas habis
minuman, tak puas dahaga pula
Yahay bin
Mu’adz menulis surat kepda Abu Yazid al-Bisthamy, “Di sana, orang yang meminum
gelas dari kecintaan, tiada dahaga usainya.” Lalu Abu Yazid menulis surat
kembali. “Aku heran atas kelemahan dirimu di sana. Sebab siapa yang merasa di
samudera jagad raya, ia akan hilang keberuntungannya.”
Ingatlah, bahwa
piala-piala taqarub tampak dari kegaiban. Dan Anda tidak bisa mengelilingi,
kecuali dengan rahasia-rahasia kemerdekaan dan ruh-ruh bebas dari segala
belenggu.
12, MAHUW DAN ITSBAT
Mahuw berarti
hilangnya sifat-sifat kebiasaan. Dan Itsbat berarti menegakkan
hukum-hukum ibadat. Barangsiapa menghapus perilaku hinanya dan menggantikannya
dengan perilaku mulia, maka dialah yang memiliki mahuw dan itsbat.
Saya mendengar
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian para syeikh berkata pada kaum
Sufi, “Bagaimana Anda mengalami mahw dan itsbat? Lalu orang itu diam, kemudian
berkata : “Adapun yang kuketahui, waktu adalah mahw dan itsbat. Sebab siapa
yang tidak memiliki mahw dan itsbat, berarti telah menelantarkan diri dan
terabaikan.”
Mahw terbagi
dalam mahw sirna (zallat) dari hal-hal yang lahiriah dan mahw alpa (ghaflat)
dari hal-hal yang batiniah, serta mahw dari bentuk sebab (Illat) pada hal-hal
rahasia.
Dalam mahw
zallat muncul itsbat pada muamalat. Pada mahw ghaflat muncul itsbat pada
tahapan-tahapan, dan dalam mahw illat muncul itsbat dalam wushul. Inilah mahw
dan itsbat sebagai syarat ubudiyah.
Sementara
hakikat mahw dan itsbat, masing-masing tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala
hal yang ditutup dan disirnakan tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yang
ditutup dan disirnakan ole Al-Haq. Dan Itsbat, segala hal yang dditampakkan dan
dijelaskan oleh al-Haq. Mahw dan itsbat dibatasi oleh Kehendak.
Allah swt.
berfirman :
“Allah
menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)” (Qs.
Ar-Ra’ad : 39).
Dikatakan :
“Allah swt. menghapus dzikir selain-Nya dari hati orang-orang ‘Arifin (Orang
yang ma’rifat). Dan Allah menetapkan pada lisan orang-orang yang menuju kepada
Allah swt. dengan dzikrullah. Mahw Al-Haq pada setiap orang, dan peng-itsbat-an
Allah swt. kepdanya, sesuai kelayakan tingkah lakunya.”
Barangsiapa di
mahw-kan oleh Allah swt. dari penyaksian, Allah swt. memberikan itsbat dengan
kekuatan Haq-Nya. Dan siapa yang di-mahw oleh AL-Haq dari itsbat-nya, Allah
mengembalikan pada penyaksian jagad dunia, dan ditetapkan dalam wahana
perpisahan.
Seseorang
bertanya kepada asy-Syibly r.a. : “Apa yang membuat diriku melihatmu tampak gelisah?
Bukankah Dia bersamamu dan engkau bersamam-Nya? Asy-Syibly berkata : “Kalau aku
adalah aku bersama-Nya, tentu, aku adalah aku. Tetapi aku pun terhapus dalam
wahana-Nya. Orang yang dikaruniani keterhangusan berada di atas majw. Karena
mahw meninggalkan bekas. Sedangkan orang yang terhapus (muhaq) tidak
meninggalkan bekas. Sementara cita-cita kaum Sufi adalah, agar ereka
dihanguskan oleh Al-Haq dari segala penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak
mengembalikan kepada penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan
kepada mereka seperti semula setelah mereka dihanguskan dalam ruhani itu.
13. SITR DAN TAJALLI
Orang awam
berada dalam tutup (sitr). Dan orang khawash berada dalam keabadian manifestasi
(tajalli). Dalam suatu hadis, Allah swt. apabila telah ber-tajalli terhadap
sesuatu, maka sesuatu itu khusyu’ (tunduk) kepada-Nya.
Orang yang
berada dalam tahap sitr memakai sifat penyaksiannya. Dan orang yang berada
dalam tahap tajjali, selamanya disertai sifat khusyu’nya.
Sitr, bagi awam
merupakan siksaan, dan bagi khawash (kalangan khusus dalam ruhani) merupakan
rahmat. Sebab tanpa ia tertutupi apa yang tersingkap dalam diri mereka,
nisscaya akan musnah di sisi Yang Maha Diraja Hakikat. Namun, sebagaimana
tampak pada diri mereka, apa yang tersingkap pun tertutup pada mereka.
Manshur
al-Maghriby berkaa : “Aku menemui salah sorang fakir dalam kehidupan orang
Arab, diantaranya terdapat seorang pemuda. Pemuda itu melayani sang fakir.
Tiba-tiba pemuda itu pingsan. Lalu si fakir bertanya tentang keadaannya. Maka
orang-orang di situ menjelaskan : “Ia memiliki kemenakan wanita, dan ia sangat
cinta kepadanya. Lalu gaids itu berjalan di kemahnya, tiba-tiba pemuda itu
melihat gadis yang kumal berdebu. Kemudain pemuda itu pun pingsan.” Lantas si
fakir berlalu menuju pintu kemah, sambil berkata kepada anak gadis itu.
“Sesuatu yang asing bagimu, menjadi tutup dan cacian. Aku datang hendak
menolongmu berkenaan dengan pemuda ini. Maka sebaiknya engkau kasihan terhadap
apa yang ada pada dirinya, dari cintanya kepada dirimu.” Lalu gadis itu berucap
“Subhanallah!” Engkau orang yang berhati sehat. Sebenarnya ia tidak tahan
melihat kekumalanku, lalu bagaimana ia kuat meneemaniku?”
Kehidupan
orang-orang awam itu berada dalam penampakan (tajalli), sementara cobaan mereka
ada dalam ketertutupan (sitr). Bagi orang-orang khawash, mereka selalu berada
di antara ketidak pedulian dan kehidupan nyata. Karena ketika menampakkan diri
kepada mereka, justru mereka acuh, namun ketika mereka tertutup, mereka
dikembalikan pada dunia, sehingga mereka hidup.
Ada yang
mengatakan, ketika Allah swt. berfirman kepada Musa, “Apa yang ada pada
tanganmu wahai Musa.” (Qs. Thaaha :17), justru agar Musa tertutupi sebagian apa
yang menjadi sebab langsung yang berpengaruh akibat mukasyafah, lewat kejutan
penyimakan.
Mohon ampunan
(istighfar) itu sendiri merupakan upaya pencarian sitr. Dan ampunan (maghfirah)
adalah sitr. Seakan-akan ia mengabarkan, bahwa ia mecari str pada hatinya
ketika didatangi keperkasaan hakikat. Sebab bagi makhluk, tidak sedikit pun ada
keabadian di sisi Wujdu Al-Haq. Dalam hadis disebutkan : “Apabila dibuka
Wajah-Nya, pastilah kesucian Wajah-Nya (Cahaya-Nya) membakar apa yang dilihat
oleh pandangannya.” (Hr. Muslim).
14. MUHADHARAH, MUKASYAFAH DAN
MUSYAHADAH
Muhadharah,
berarti kehadiran kalbu, stelah itu baru Mukhasyafah, yakni kehdiran kalbu
dengan sifat nyatanya, lalu Musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq tanpa
dibayangkan. Apabila langit rahasia (sirr) telah bersih dari mega sitr,
maka matahari penyaksian tepancar dari bintang kemuliaan.
Kebenaran musyahadah, seperti
diungkapkan oleh al-Junayd r.a. “Wujdu Al-Haq menyertai kesirnaanmu. Orang yang
bertahap Muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang
yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya, sedangkan orang
yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang Muhadharah
ditunjukkan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang
musysahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya.”
Tidak ada
tambahan lagi dalam penjelasan musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh
Amr bin Utsman al-Makky r.a. Arti dari yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang
melingkupi kalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya.
Sebagaimana perkiraan dalam kiltan yang bersambung. Seperti malam yang gelap
dilampaui cahaya, dan cahaya itu tidak terputus, maka jadilah cahaya siang.
Begitupun kalbu, apabila keabadian Tajalli tampak terus menerus, akan menjadi
siang yang nikmat, tiada malam samak sekali.
Dalam syair
yang mereka lantunkan :
Malamku, dengan
Wajah-Mu terang benderang
Dan kegelapannya
merambah manusia
Manusia berada
dalam kegulitaan,
Sedang kami ada
di cahaya benderang siang
An-Nury berkata
: “Seorang hamba tidak sah ber-musyahadah, sepanjang masih hidup. “Apabila
subuh telah terbit, tak perlu lagi lampu.”
DaKetika terang
subuh tiba,
Beredarlah
cahayanya, dengan cahayanya
Cahaya-cahaya
gemerlap bintang
Cahayatertelan
gelas,
Jika saja
tersimpan bara karena menelannya
Terbanglah
secepat-cepatnya
Gelas piala,
dan gelas piala manakah yang menghancurkan dan menyirnakan, menghanguskan mereka
dari diri mereka sendiri, sementara tak satu pun gelas piala yang mengabadikan
dan memercikan mereka. Gelas yang menghapus mereka secara menyeluruh dan tiada
menyisakan tulang belulang dari pengaruh-pengaruh sifat-sifat kemanusiaan.
Sebagaimana diucapkan : Mereka berjalan, namun tidak tetap, tidak teratur dan
tidak ada pengaruh.
15. LAWAIH, LAWAMI’ DAN THAWALI’
Kata-kata
tersebut makananya saling berdekatan, nyaris tidak ada perbedaan besar. Kata
tersebut merupakan sifat-sifat dari orang yang sedang dalam tahap permulaan
(bidayat). Mereka yang sedang menaiki tahap dalam kalbu. Sehingga cahaya
matahari ma’rifat tidak menetap abadi dalam diri mereka. Namun Allah swt.
mendatangkan rezeki kalbunya dalam setiap saat.
Sebagaimana
Allah swt. berfirman :
“Bagi mereka rezeki mereka di dalam surga, pagi dan
petang.” (Qs. Maryam : 62).
Apabila langit
kalbu dipenuhi mega dunia, terbayanglah kilatan kasyaf bagi mereka, dan
tampaklah kilatan taqarrub. Mereka dalam zaman yang menutup mereka, sedang
mereka mengintai ekjutan kilatan itu. Mereka seperti digambarkan dalam syair :
Wahai kilatan
yang cemerlang
Dari
sayap-sayap lagnit yang benderang
Lawaih sebagai
tahap pertama, disusul Lawami’, kemudian Thawali’. Lawaih seperti kilatan
cahaya, tidak akan tampak sehingga cahayanya tertutup. Dalam syair dikatakan :
Kami berpisah
setahun
Ketika kami
bertemu
Seakan salamnya
padaku
Salam selamat
tinggal
Mereka berkata
:
Wahai orang
yang berjalan,
Dan bukan
pezarah sebenarnya
Seakan ia
terkena api
Lewat di depan
pintu rumah tergesa-gesa
Padahal tak ada
bencana
Jika ia
memasukinya
Sedangkan Lawami’ lebih
jelas daripada Lawaih. Hilangnya cahaya tidak secepat itu. Lawami’ disinari
cahaya beberapa waktu. Namun seperti ucapan syair : Dan mata menangis, tak
puas-puasnya memandang.
Dalam syair
mereka berkata pula :
Tak sampai
air wajahnya di mata
Kecuali telah
penuh
Sebelum puasnya
mendekat
Bila telah
tampak cahayanya, ia memutus dirimu dan mengumpulkanmu dengan cahaya itu.
Tetapi cahaya siangnya tidak berlalu sampai pasukan-pasukan malam menyerang.
Mereka beada di antara pasukan Ruh dan Nuh. Karena mereka berada di antara
Kasyaf dan Sitr. Mereka bersyair :
Sedang malam
mengandung kita
Dengan
dinginnya yang mencekam
Sementara
subuh, menyingkap selimut kita.
Thawali’ lebih
lama dan abadi waktunya, lebih kuat dominasinya dan lebih abadi ketetapannya.
Thawali’ mampu menghapus kegelapan dan menyirnakan keraguan. Tetapi tetap
berada dalam bisikan yang lenyap. Tidak terlalu tinggi, tidak pula berdiam
abadi. Waktu-waktu memperolehnya dengan perjalanan yang cepat dan ihwal
lenyapnya berbuntut panjang.
Makna-makna
dari Lawaih, Lawami’ dan Thawali’ tersebut berbeda-benda disiplinnya. Antara
laian, ketika kehilangan jejak, tidak sedikitpun memberkas. Sepeti
kilatan-kilatan, ketika lenyap, seakan-akan malam panjang nan abadi yang ada.
Ada pula yang meninggalkan bekas, apabila hllang angkanya, yang ada tinggal
dukanya. Apabila cahaya-cahayanya asing, yang tetap beks-bekasnya. Orang akan
berada di tahap tersebut setelah menghuni luapannya, hidup dalam sorotan
berkatnya. Lanatas pada hamparan ke dua kalinya, ia berharap dengan waktunya
untuk menunggu kembalinya cahaya itu, dan ia hidup dengan sesuatu yang ditemui,
pada saat adanya itu
16. BUWADAH DAN HUJUM
Buwadah adalah
sesuatu yagn seketika datang mengejutkan kalbu Anda dari dimensi ghaib,
terkadang karena adanya faktor kesukacitaan atau kedukacitaan.
Sedangkan Hujum, sesuatu yang datang pada hati dengan kekuatan waktu tanpa
rekayasa dari diri Anda.
Berbagai ragam
bentuknya berbeda sesuai dengan kekuatan dan kelemahan sesuatu yang tiba. Di
antaranya ada orang yang diubah oleh Buwadah, namun pada kesempatan berikutnya
diaplikasikan oleh Hujum. Dan diantaranya ada yang berada di atas apa yang
mengejutkannya, baiks ecara potensi maupun aktual. Mereka adalah kaum yang
dipenuhi kebajikan dan kemuliaan. Sebagaimana dikatakan :
Jangan kau
membuat petunjuk
Pengganti zaman
kepada mereka
Bagi mereka ada
kendali
Pada setiap
Khitab yang agung
17. TALWIN DAN TAMKIN
Talwin merupakan sifat
orang-orang yang memliki tingkah laku tahapan.Tamkin adalah sifat ahli
hakikat. Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah, maka
dialah pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap demi
tahap, berpindah dari satu predikat ke predikat lain, keluar dari terminal ke
persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai, mereka akan mencapai ketenangan
(tamakkun).
Senantiasa rasa
cintamu tiba ingin di suatu tempat
Bimbangkan
jiwa, di mana tempat menetap
Orang yang
berada di tahap talwin selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada tahap tamkin,
berarti telah sampai (wushul) kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai itu :
Ia, dengan keseluruhan dari keseluruhan.
Salah seorang
syeikh berkata : “Berakhirlah penggembaraan para pencari menuju kemenangan
dalam jiwanya. Apabila telah sampai kemenangan dalam jiwanya, berarti mereka
telah samapi.”
Mereka berharap
demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan termanifestasi oleh
kerajaan hakikat. Manakala hamba menetap abadi dalam kondisi itu, dialah
pemilik tamkin itu.
Syeikh Abu
ali-ad-Daqqaq r.a. berkata : “Musa a.s. adalah pemilik mawam talwin, kemudian
kembali dari mendengarkan Kalam, dan berharap untuk menutup wajahnya. Sehingga
ada pengaruh bagi tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad saw. adalah
pemilik tahap tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa yang
disaksikan pada malam itu, tidak berpengaruh. Kisah demikian juga dimetaforakan
pada kisah wanita-wanita yang melihat Yusuf as. Ketika mereka secara bersamaan
memotong jemari tangannya, saat melihat raut muka Yusuf as. Dengan tampang yang
menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara isteri Raja Aziz, jiwanya lebih
sempurna ketimbang mereka dalam mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak hati
itu ia tidak berubah, karena ia telah memiliki ketenangan (tamkin) dalam
peristiwa Yusuf as.
Ketahuilah,
bahwa perubahan hati dalam diri hamba karena satu dari dua persoalan : Kalau
tidak karena adanya kekuatan yang tiba, atau justru karena kelemahan dirinya.
Sedangkan ketenangan atau kediaman dari hamba juga karena dua hla : Karena
kekuatan atau karea kelemahan sesuatu yang tiba itu.
Saya mendengar
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Prinsip kaum Sufi dalam
memperbolehkan kelangsungan tamkin, terpaku pad dua hal.Pertama, tidak ada
jalan lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasul saw. dalam Hadits Qudsi :
“Apabila kamu
mengabdi sebagaimana adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku, niscaya para
Malaikat akan menjabat tangan kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi, dan
ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi).
Sabdanya pula :
“Aku punya
waktu (khusus) yang tidak dapat leluasa di dalamnya kecuali Tuhanku.” (H.r.
Tirmidzi).
Kedua, sah
berada dalam kondisi kelanggengan, mengingta ahli hakikat melakukan tahapan
dari sifat yang mempengaruhi melalui berbagai jalan. Sementara kalimat dalam
hadits di atas, “ ... Niscaya para malaikat akan menjabat tangan kamu.” Sama
sekali bukan hal yang mustahil. Jabat tangan dari Malaikat tidak apda kalangan
pemula, mendasarkan pada Hadits Nabi saw. “Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya
pada pencari ilmu, sebagai rasa ridha terhadap apa yang dilakukan.” (H.r.
Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan
Baihaqi).
Sedangkan
sabdanya : “Aku punya waktu (khusus).” Dikondisikan menurut persepsi pendengar.
Namun dalam seluruh tingkah laku Nabi saw. senantiasa berdiri di atas hakikat.
Yang pertama,
bisa dikatakan : Seorang hamba, sepanjang masih menaiki tahapan-tahapan, ia
disebut pemilik talwin. IA sah-sah saja bila predikatnya bertambah dan
berkurang. Apabila telah sampai pada Yang Haq dengan meninggalkan hukum-hukum
kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan cara tidak dikembalikan pada
penyakit-penyakit nafsu, maka ia disebut Mutamakkin dalam haliyah (Perilaku
ruhani)-nya menurut proporsi dan haknya. Kemudain Allah swt. mendudukkannya
pada setiap jiwa, dan tidak ada batas bagi kekuasaan-Nya. Karenanya, jika hamba
senantiasa dalam tahap yang bertambah ia selalu talwin, dan dalam prinsip
haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia menempati tahapnya lebih tinggi lagi dari sebelumnya,
bahkan lebih tinggi lagi. Karena tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada
jenis manapun. Sedangkan orang yang merasuk dalam musyahadahnya, dan secara
universal relevan dengan rasanya, maka tiada batas tempat bagi kemanusiaan.
Karena itu, batallah keseluruhan, diri dan rasanya. Begitu juga berkaitan
dengan jagad raya seisinya, jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan
(mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap talwin maupun tamkin, tidak ada maqam
ataupun haal. Sepanjang ia berada pada predikat tersebut, ia tak terbebani
tugas (takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali jika ia dikembalikan
menurut kondisi di luar itu semua, maka ia berada dalam situasi dimana
dugaan-dugaan makhluk berlaku, terpalingkan dari posisi tahqiq.
Alalh swt.
berfirman :
“Dan kamu
mengira mereka itu bangun, padahal mereka itu tidur dan Kami balik-balikan
mereka ke kanan dan ke kiri.” (Qs. Al-Kahfi:18).
18. QURB DAN BU’D
Awal tahap
dalam taqarrub atau al-qurb (kedekatan) adalah kedekatan hamba dalam taatnya
dan disiplin waktu melalui ibadat-ibadatnya. Sedangkan tahap al-bu’d
(penjauhan) adalah pengotoran diri dengan menentang dan menghampakan diri
terhadap taat kepada Allah swt. Awal dari bu’d adalah jauh dari taufiq,
kemudian jauh dari pembenaran (tahqiq). Bahkan jauh dari taufiq adalah jauh
dari tahqiq itu sendiri.
Dalam Hadits
Qudsi dijelaskan, Nabi.s aw. Mengabarkan dari Allah swt.
“Para hamba
senantiasa bertaqarrub kepada-Ku, sebagaimana aturan yang Aku wajibkan kepada
mereka. Dan seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku melalui
ibadat-ibadat sunnah, sampai si hamba menyintai-Ku dan Aku mencintainya.
Apabila Aku telah mencintainya, Diri-ku sebagai pendengaran dan penglihatan
baginya. Maka dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia mendengar.” (H.r. Bukhari
dan Tirmidzi).
Kedekatan hamba
pada Tuhannya, mula-mula dengan iman dan pembenarannya. Kemudain kedekatannya
melalui ihsan dan hakikatnya. Sedang kedekatan Al-Haq saat di dunia ini
didapati melalui kema’rifatan. Kelak di akhirat, hamaba dimuiakan untuk
menyaksikan-Nya secara nyata. Di antara masing-masing kedekatan itu, melalui
kelembutan dan anugerah.
Kedekatan hamba
kepada Allah swt. tidak akan terwujud kecuali kajuhan hamba dari makhluk.
Predikat ini ada dalam hati, bukan hukum-hukum fisikal lahriah dan alam.
Kedekatan Allah
swt. termanifestasi melalui sifat Ilmu dan Qudrat yag bersifat universal dan
umum. Sedangkan melalui Maha Lembut dan Maha Penolong-Nya, sifatnya hanya
khusus bagi orang-orang beriman. Kemudian dengan pemberian anugerah
“Kesukacitaan ruhani”, kedekatan-Nya tertentu bagi para Wali-Nya. Allah swt.
berfirman : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding urat lehernya.” (Qs.
Qaaf : 16) dan firman-Nya pula : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding
diri kamu (sendiri).” (Qs. Al-Waqi’ah : 85). Pada ayat lain : “Dan Dia
bersama kamu, di mana pun kamu berada.” (Qs. Al-Hadid : 4) “Tiada pembicaraan
rahasia antara tiga orang, kecuali Dia-lah yang keempatnya.” (Qs. Al-Mujaadilah
: 7). Siapapun yang secara hakiki dekat dengan Allah swt. minimal ia harus muraqabah
kepada-Nya. Karena dengan Muraqabah, sang hamba akan senantiasa mawas iri
dengan takwa, kemudian mawas diri pada hukum Allah swt. dan kesetiaan, disusul
kemawasan tehadap rasa malu. Mereka mendengarkan nada-nada syair :
Seakan si Raqib
menjaga getaran hatiku
Yang lain
menjaga pandangan dan ucapanku
Tak ada
selayang pandang di kedua mataku
Yang
memburamkan Diri-Mu
Melainkan
engkau katakan
Benar-benar
engkau memandang-Ku
Tiada yang cemerlang kata yang
meluncur
Dari mulutku selain Diri-Mu
Melainkan Engkau katakan, benar,
engkau mendengar
Dengan pendengaran-Ku
Tiada getar hati dalam rahasia
Getran selain Diri-Mu
Melainkan engkau telah naik dengan
pertolongan-Ku
Sahabatku telah
membosankan ucapannya
Aku membisu
dari mereka, pandangan dan lisanku
Bukanlah pelarianku
dari dunia
Yang melupakan
diriku dari mereka
Hanya saja aku
telah tenggelam dalam penyaksianku
Di mana pun jua
Salah seorang
syeikh menguji para santrinya. Masing-masing santrinya diberi seekor burung.
Kata syeikh itu : “Sembelihlah burung ini, namun jangan diketeahui oleh siapa
pun !.” Mereka pun pergi ke suatu tempat, dimana tak seorang pun melihatnya,
lalu disembelihlah burung itu di tempat yang sepi. Namun ada salah seorang yang
datang menghadap kepada syeikh tersebut, dengan membawa burungnya semula, tanpa
disembelih. Syeikh itu menanyakan kepada si murid, mengapa hingga ia tidak
menyembelih burung tersebut. Ia menjawab, “Engkau memerintahkan diriku untuk
menyembelih burung itu, dengan syarat tidak diketahui siapa pun. Tetapi tidak
satu pun tempat, kecuali Allah swt. melihatnya.” Syeikh itu berkata, “Dengan
ini, kehormatan kuberikan kepada muridku ini. Sebab pada umumnya di antara
kalian hanya bertumpu pada makhluk. Sedangkan ia tidak melalaikan Allah swt.
Dan memandang kedekatan berarti hijab bagi kedekatan itu sendiri.”
Siapa yang
memandang dirinya sebagai tempat berpijak atau bernafas, maka dirinya terkena
makar. Karena itu para Sufi berkata “Semoga Allah swt. menjagamu dari
kedekatan-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya.”
Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya, apabila Anda
menemui-Nya. Hal ini mengingat bahwa anugerah kebahagiaan spiritual yang
disebabkan kedekatan-Nya merupakan perlambang keagungan. Karena Allah swt, itu
sendiri berada di belakang setiap puncak kebahagiaan. Sedangkan wilayah-wilayah
hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan dan keleburan ruhani.
Mereka bersyair
:
Cobaanku
padamu, bahwa diriku
Tak peduli
dengan cobaanku
Dekatmu bagai
jauhmu
Kapankah tiba,
waktu istirahatku?
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq r.a. sering menyenandungkan bait-bait ini :
Kinasihmu
adalah perpisahan
Cintamu adalah
kebencian
Dekatmu adalah
jauh
Damaimu adalah
perang
Abu Husain
an.Nury sebagaian murid Abu Hamzah : “Apakah Anda salah seorang murid Abu
Hamzah yang mengisyaraktkan pada al-Qurb? Kalau Anda bertemu dengan belaiu
sampaikan, bahwa Abul Husain an-Nury berkirim salam, dan mengatakan kepadanya :
“Dekatnya dekat dalam perspektif kamia dalah setelah jauh (al-bu’d). Jika yang
dimaksud adalah dekat dengan Dzat, maka, Allah Maha Luhur (jauh) dari segala
Kedekatan seperti itu. Karena Allah Maha Suci dari segala batas dan wilayah,
pangkal dan ukuran Allah tidak berssentuhan dengan makhluk, begitu juga tidak
terpisah dengan sesuatu yang didahului. Sefat keagungan Shamadiyah-Nya jauh
dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana kedekatan materi, dalah mustahil.
Sedangkan dekat di sini adalah keharusan sifat-Nya yaitu dekat melalui Ilmu dan
Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam Sifat-Nya, yang dikhususkan kepada
hamba yang dikehendaki-Nya, yakni dekat dalam perspektif keutamaan melalui
sifat kelembutan.
19. SYARIAT DAN HAKIKAT
Syariat adalah
disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah musyahadah Ketuhanan.
(Musyahadah Ketuhanan (rububiyah) : artinya melihat dengan kalbu. Hal ini
terungkap bahwa syariat merupakan sarana mengetahui penempuhan jalan Allah swt.
Sedangkan Hakikat adalah kelestarian memandang kepada-Nya. Tharikat adalah
menempuh jalan syariat tersebut, yakni mengamallkan aturan-aturannya). Catatan
kaki).
Setiap syariat
yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak bisa diterima. Sebaliknya Hakikat
yang tidak dikukuhkan dengan syariat, tidak akan suskes.
Syariat turun
dengan tugas-tugas dari Sang Khalik, sementara hakikat merupakan implementasi
pelaksanaan kebenaran. Syariat berarti Anda menyembah-Nya, sedangkan Hakikat
berarti Anda Menyaksikan-Nya. Syariat berarti bangkit sesuai dengan apa yang
diperintahkan, sementara Hakikat adalah menyaksikan apa yang di qadha-kan dan
ditakdirkan, apa yang tersembunyi dan apa yang tampak.
Saya mendengar
Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq berkata : “(Kepada-Mu kami menyembah)” adalah
menjaga syariat, dan “(Kepada-Mu kami meohon pertolongan)” adalah ikhtiar
dengan hakikat.
Perli
diketahui, syariat itu sendiri adalah hakikat, bila dilihat bahwa syariat
adalah keharusan melalui perintah-Nya. Begitu pun hakikat adalah syariat, dari
segi bahwa ma’rifat kepada-Nya, karena perintah-Nya.
20. N A F A S
Nafas adalah
hembusan kalbu melalui kelembutan-kelembutan kegaiban. Orang yang memiliki
nafas (ruhani), lebih lembut dan lebih jernih dibading yang memiliki ahwal
ruhani. Pemilik waktu adalah pemula, dan pemilik nafas, adalah pangkalnya.
Pemilik tingkah kesufian (ahwal) berada di antara keduanya. Orang-orang yang
berada pada tahap awal adalah pemelihara ruh, sedangkan pemilik nafas adalah
ahli dalam rahasia-rahasia Ketuhanan.
Para Sufi
berkata : “Sebaik-baik ibadat adalah menghitung nafas (hati) bersama Allah
swt.”
Mereka juga
berkata : “Allah swt. menciptakan kalbu, dan dijadikan kalbu itu sebagai
tambang ma’rifat. Allah swt. mencipta rahasia di balik kalbu, dan dijadikan
sebagai tempat tauhid. Setiap nafas yang tidak muncul dari bukti-bukti ma’rifat
dan setiap isyarat tauhid dalam bentangan kerumitan, adalah mayat, yang
pemiliknya akan dimintai pertanggung jawaban.”
Syeikh Abu Ali
ad. Daqqaq r.a. berkata : “Bagi orang Arif” nafas tidak berserah kepadanya,
karena tidak ada toleransi yang mengalir menyertainya. Sedangkan bagi sang
pecinta, nafas adalah keharusan. Kalau tidak ada nafas, pastilah ia akan
musnah.”
21. AL-KHAWATHIR
Al-Khawathir (bisikan-bisikan
jiwa) adalah bisikan yang menghujam ke dalam rasa; terkadang muncul dari
Malaikat, terkadang dari setan, atau sekedar ungkapan nafsu, dan bahkan pula
bisikan langsung dari Allah swt. Yang Maha Benar.
Apabil bisikan
datang dari malaikat, disebut Ilham. Jika muncul dari hawa nafsu disebut
Hawajis. Dan bila datang dari setan disebut Haswas. Sedangkan bisikan jiwa yang
langsung dari Allah swr. Disebut Bisikan Kebenaran (Khathir Haq).
Indikasi secara
keseluruhan, apabila bisikan datang dari para malaikat, bisa diketahui
kebenarannya bila bisikan itu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Karena itu, para
Ulama Sufi berkata : “Setiap bisikan yang tidak bisa disaksikan kebenarannya
secara lahir, adalah bisikan batil.” Apabila bisikan itu datang dari setan,
rata-rata mengandung pada kemaksiatan. Begitupun yang datang dari nafsu, lebih
cenderung mengajak pada sikap menurut syahwat, atau rasa takabur.
Para syeikh
Sufi bersepakat, bahwa orang yang terlalu banyak makan makanan haram, tidak
akan bisa membedakan mana bisikan yang bersifat ilham dan mana yang waswas.
Saya mendengar
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Siapa yang makanan utamanya diketahui
(keharamannya), ia tidak akan bisa membedakan antara ilham dan waswas.
Sementara orang yang menghindari hasrat nafsunya, dengan cara mujahadah yang
benar, kejelasan ucapan batinnya akan tampak melalui perlawanan terhadap
nasunya.”
Para syeikh
sepakat, bahwa nafsu itu tidak bisa dibenarkan. Sedangkan kalbu tidak bisa
ditipu. Apabila Anda mujahadah semaksimal mungkin, agar ruh membisikan kepada
Anda, pastilah ruh tidak akan membisikan sesuatu kepada Anda.
An-Junayd
membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan : bahwa naffsu itu, apabila
menuntut Anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan akan kembali lagi
walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih
kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-orang yang mujahadahnya
benar, maka bisikan itu tidak akan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi
Anda. Sementara setan, ketika menjerumuskan Anda melalui godaannya, kemudian
Anda menentangnya, maka setan akan kembali mempengaruhi Anda dengan godaan
lainnya. Sebab, secara keseluruhan, sikap kontra adalah sama. Yang penting bagi
setan, Anda bisa mengikuti ajakannya yang menjerumuskan. Dan baginya, tidak ada
peringatan dalam penjerumusan itu.
Dikatakan :
“Setiap bisikan yang datang dari para malaikat, kadang-kadang cocok di hati si
penerima bisikan, terkadang juga tidak. Namun apabila bisikan langsung dari
Allah swt. sama sekali si hamba tidak menetang-Nya.”
Para Syeikh
memperbincangkan soal bisikan berikutny. “Apabila bisikan dari Allah swt.
apakah bisikannya alebih kuat dibanding bisikan pertama.” Al-Junayd berkata :
“Bisikan pertama lebih kuat, sebab, apabila bisikan itu masih ada, orang yang
mendapat bisikan kembali pada refleksinya, dan dalam kaitan ini, perlu
persyaratan ilmu pengetahuan. Meninggalkan bisikan pertama berarti melemahkan
bisikan kedua.”
22. ILMUL YAQIN, ‘AINUL YAQIN DAN HAQQUL
YAQIN
Ungkapan di
atas merupakan wacana ilmu yang sudah jelas.
Yaqin adalah
ilmu yang tidak merasuki seseorang yang menyebabkan keraguan sepenuhnya.
Al-Yaqin tidak diucapkan dalam sifat Allah swt. karena memang tidak relevan.
Sedangkan Ilmu Yaqin adalah Yaqin itu sendiri. Termasuk katagori Yaqin adalah
‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin.
Ilmu Yaqin
menurut disiplin terminologi ulama, adalah sesuatu yang ada dengan syarat
adanya bukti. Sedangkan ‘Ainul Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai
kejelasan. Haqqul Yaqin, adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang
menyertai kenyataan.
Ilmu Yaqin,
diperuntukkan bagi mereka yang cenderung rasional, ‘Ainul Yaqin, diperuntukan
bagi para ilmuwan. Sedangkan Haqqul Yaqin, hanya bagi orang-orang yang
ma’rifat.
23. W A R I D
Al-Warid (bisikan
terpuji) adalah bisikan dalam hati, berupa bisikan terpuji, tanpa diduga oleh
seorang hamba. Tergolong kategori ini, adalah hal-hal yang tidak termasuk sisi
dari bisikan (khawathir).
Warid
kadang-kaang datang dari Allah swt. dan terkadang juga dari intuisi
pengetahuan. Bisikan-bisikan terpuji (al-waridaat) ini lebih umum dibnding
al-khawathir. Sebab bisikan khawathir, hanya khusus bagi macam perintah, atau
yang se-arti dengannya. Sementara warid, lebih sebagai bisikan kegembiraan,
atau kesedihan, genggaman dan keleluasaan Ilahi, dan sejenisnya.
24. SYAAHID
Kebaynyakan
yang berlaku dalam ucapan ulama, bahwa kata asy-Syaahid itu semakna
dengan ucapan kita : Si Fulan menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm); Si Fulan
menyaksikan ekstase (yusyaahid –al-wujd) dan si Fulan menyaksikan
keadaan-keadaan ruhani (yushaahid al-haal).
Mereka
mengartikan kata Syaahid adalah sesuatu yang hadir dalam hati manusia. Sesuatu
yang pada umumnya teringat, seakan-akan ia melihat dan memandangnya, walaupun
obyek tidak ada di hadapannya. Setiap yang dominan dalam hatinya, berarti ia
menyaksikannya. Bila yang dominan adalah ilmu, maka ia menyaksikan ilmu. Begitu
juga bila yang dominan adalah ekstase, berarti ia menyaksikan al-wujd.
Arti
asy=Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi setiap yang hadir dalam hati
Anda berarti yang menjadi bukti Anda.
Asy-Syibly
ditanya tentang musyahadah. Katanya, “Dari mana kita mendapatkan musyahadah
al-Haq? Padahal Allah Yang Maha Haq menyaksikan kita.” Beliau mengisyaratkan,
dengan kata, “Allah swt. yang menyaksikan.” Dengan menggunakan faktor dominan
dalam hatinya. Dan yang dominan pada dirinya adalah dzikir kepada Allah swt.
Sedangkan yang hadir dalam hati senantiasa juga dzikir kepada Allah swt. Siapa
pun yang memperoleh sesuatu dari sesama makhluk, maka hatinya akan berkait.
Dikatakan, “Ia menjadi saksinya.” Artinya, hatinya hadir. Rasa cinta
mendorong seseorang untuk selalu ingat kepada sang kekasih dan mengutamakan
kekasihnya dibanding dirinya.
Sebagian Sufi
sangat jeli dalam mencari akar kata asy-Syaahid ini.
Disebutkan
demikian karena bermula dari asy-Syaahid. Seakan-akan jika melihat sosok dengan
sifat-sifat keindahannya – apabila sifat manusiawinya gugur dari dirinya, dan
tidak disibukkan oleh penyaksian pada keadaan sosok tokoh, dan tidak pula ada
pengaruh persahabatan di dalamnya dalam satu sisi – maka ia disebut saks
“bagi”” sosok tersebut karena ke-fana’an dirinya. Tetapi bila ada pengaruh di
dalam menyertai sosok tersebut, ia disebut sebagai saksi “atas” ssosok itu,
sedangkan dirinya masih ada, dan masih menegakkan hukum naluri manusia, baik
sebagai saksi bagi sosok atau saksi atas sosok di atas. Dalam kontens inilah
relevan dengan sabda Nabi saw. “Aku melihat Tuhanku pada malam Mi’raj, dalam
rupa yang paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang kulihat malam itu. Sama
sekali tidak menyakitkan diriku untuk melihat-Nya. Bahkan aku melihat Perupa
dalam rupa, dan Kreator dalam kreasi.” (H.r. Thabrani, riwayat dari Ubaidullah
bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas. Demikian pula riwayat dari Ummu
Thufail dari Mu’adz bin ‘Afra’).
Yang dimaksud
hadits tersebut adalah penglihatan ilmu, bukan penglihatan mata.
25. NAFSU
Nafsu syai’
dalam bahasa Arab adalah wujud sesuatu (jati diri). Sedangkan menurut kaum
Sufi, “Ucapan kata nafs bukan dimaksudkan sebagai wujud, acuan
masalah.” Yang mereka maksudkan dangan nafs adalah sesuatu yang tercela dalam
sifat-sifat hamba, akhlak dan perbuatannya.
Perilaku
tercela dari sifat-sifat hamba tebagi menjadi dua : Pertama, bersifat
upaya dari hamba, seperti perbuatan maksiat dan pengingkaran terhadap perintah
dan larangan. Kedua, budi pekertinya yang buruk dalam dirinya yang
tercela. Maka terapi dan penyembuhannya pada diri hamba adalah berjuang melawan
kehinaan perilaku tersebut yang telah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pada sifat yang
pertama, termasuk hukum-hukum nafsu adalah hal-hal yang dilarang setara dengan
keharaman atau larangan yang besifat dibenci. Sedangkan pada sifat kedua,
berupa keburukan dan kehinaan akhlak. Inilah batasan globalnya. Kemudian
rinciannya, seperti takabur, amarah, dendam, dengki, buruk akhlak, sedikit
bersyukur, dan yang lainnya. Yang tergolong akhlak tercela.
Hukum nafsu
terburuk adalah berupa khayalan bahwa sesuatu perbuatan yang muncul dari nafsu
dianggap baik. Atau perbuatan nafsu itu sebagai bagian takdir. Karena itulah
perbuatan nafsu seperti itu tergolong syirik khafy atau syirik yang
samar. Karena itu, terapi akhlak dalam menyingkirkan nafsu lebih penting
daripada berlapar-lapar, haus atau berjaga (tanpa tidur) dan sebagainya yang
mengandung unsur penyusutan kekuatan fisik. Walaupun cara seperti itu juga
termasuk meninggalkan kesenangan nafsu.
Nafsu itu
sendir merupakan nuansa lembut yang ada dalam hati, sebagai tempat akhlak yang
tercela. Sebagaimana ruh yang merupakan nuansa lembut dalam hati, namun sebagai
tempat akhlak terpuji. Dalam gambaran yang umum, masing-masing saling
meundukkan. Semuanya, merupakan bagian dari kesatuan manusia. Eksistensi ruh
dan nafsu tergolong wadag lembut dalam rupa, sebagaimana eksistensi malaikat
dan setan, dengan sifat-sifat kelembutan.
Seperti
benarnya mata sebagai tempat memnadang, telinga sebagai tempat mendengar,
hidung sebagai tempat penciuman, mulut sebagai tempat rasa, maka, begitu pun
orang yang mendengar, yang melihat, yang mencium dan yang merasakan, semuanya
termasuk dalam bagan manusia. Demikian pula, tempat sifat-sifat yang terpuji,
tempatnya adalah hati dan ruh. Sedangkan sifat-sifat tercela tempatnya adalah
nafsu. Nafsu sendiri sebagai bagian dari keseluruhan tersebut, begitu pula
hati, hukum dan nama, kembali pada keseluruhan kesatuan sosok manusia.
26. R U H
Ahli hakikat
dari kalangan Ahli Sunnah berbeda pandangan soal Ruh. Ada yang berpendapat, ruh
adalah kehidupan. Yang lain berpandangan, ruh adalah kenyataan yang ada dalam
hati, yang bernuansa lembut. Allah swt. menjalankan kebiasaan makhluk dengan
mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya menempel di badan.
Manusia hidup
dengan sifat kehidupan. Tetapi arwah selalu tercetak di dalam hati, dan bisa
naik ketika tidur dan berpisah dangan badan, kemudain kembali kepada-Nya.
Manusia terdiri
dari ruh dan jasad. Karenanya Allah swt. menundukkan keduanya secara
keseluruhan, baik ketika di Mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah
makhluk.
Bagi sementara
pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan kekeliruan besar. Beberpa
hadits mengindikasikan bahwa ruh adalah materi yang lembut.
27. SI IR
Sirr juga
temasuk nuansa halus dalam hati manusia, sebgaimana arwah. Akarnya menunjukkan
bahwa sirr adalah temepat musahadah, sebagaimana arwah temWApat mahabbah.
Sedangkan kalbu tempat ma’rifat.
Para Sufi
berkata: “Sirr adalah sessuatu yang membuat Anda mulia. Sedangkan rahasia sirr,
adalah sesuatu yang tidak bisa terungkap selain Allah Yang Haq.”
Dari kesimpulan
para kaum Sufi, kita memandang bahwa sirr lebih lembut dibanding ruh. Dan ruh
lebih mulia dibanding kalbu.
Mereka berkata
: “Sirr selalu merdeka dari belenggu tipudaya, baik dari pengaruh dunia maupun
kesenangan.”
Kata sirr
diucapkan bagi segala hal yang terjaga dan termasuk antara hamba dengan Allah
swt. dalam ihwal ruhani. Dalam hal ini, ucapan seseorang yang mengatakan,
“Rahasia-rahasia kami adalah keperawwanan yang masih suci. Sedang mereka ragu,”
masuk kategori ucapan sirr.
Mereka
mengatakan : “Hati orang-orang merdeka, selalu menerima rahasia-rahasia jiwa
(asraar).
CopyrighⒸPurwanto Modin In Sitirejo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar